Tahun 2000: Titik Pergeseran Penegakan Hukum di Indonesia
Di awal abad ke-keannya, Indonesia berada pada persimpangan penting. Setelah era panjang pemerintahan Soeharto yang berakhir pada 1998, negeri ini mencoba membangun kembali tata hukum dan institusi yang sempat terpinggirkan oleh kekuasaan tertinggi. Namun warisan Orde Baru bukanlah sekadar siluet di masa lalu — ia masih melekat kuat, melewati jaringan bisnis, politik, dan relasi kekuasaan.
Di antara simbol perubahan itu muncul nama Hutomo Mandala Putra (dikenal sebagai Tommy Soeharto), putra bungsu Soeharto. Kasusnya bukan semata perihal korupsi, tetapi juga pengambilan alih peran hukum dalam menghadapi “orang besar”.
---
Kasus Korupsi Goro Batara Sakti & BULOG
Kasus bermula dari dugaan tukar-guling lahan antara perusahaan milik Tommy, PT Goro Batara Sakti (GBS), dan badan logistik negara, Bulog. Lahan gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta Utara, diklaim digantikan oleh kawasan rawa di Marunda—dan prosedur lelang yang semestinya tak ditemui.
Pada 22 September 2000, majelis kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA) yang diketuai oleh Syafiuddin Kartasasmita menjatuhkan putusan: Tommy dinyatakan bersalah, dipidana 18 bulan penjara dan diwajibkan membayar ganti rugi sekitar Rp 30 miliar serta denda.
Putusan ini menjadi salah satu momen langka: bukan sekadar pengadilan terhadap figur besar, tetapi pengadilan terhadap figur yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan. Publik melihat ini sebagai harapan bahwa “hukum bisa menyentuh orang besar”.
---
Pelarian & Teror terhadap Penegak Hukum
Meski telah divonis, Tommy–menurut catatan publik–tidak segera menjalani hukuman. Bersamaan dengan itu, atmosfer hukum menjadi semakin tegang ketika Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita dibunuh dalam insiden dramatis pada 26 Juli 2001. Mobil yang dikendarainya diserang dua penunggang motor di Jakarta.
Peristiwa ini tak hanya menyeret tragedi personal tetapi juga menghadirkan sinyal: bahwa menegakkan hukum terhadap figur berkuasa tidak hanya sulit, tetapi berisiko tinggi. Di satu sisi, ada kebanggaan publik bahwa hukum mencoba berlaku; di sisi lain, ada ketakutan bahwa kekuasaan bisa menuntut balas.
---
Penangkapan & Pengadilan Lanjutan
Akhirnya, pada 28 November 2001, setelah hampir setahun menjadi buronan nasional, Tommy ditangkap di Jakarta Selatan.
Sidang dimulai pada Maret 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia didakwa atas beberapa tindak pidana: pembuatan rencana pembunuhan terhadap hakim, kepemilikan senjata api ilegal, pelarian dari putusan korupsi sebelumnya.
Pada 17 September 2002, ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Namun kemudian, melalui mekanisme peninjauan kembali (PK) di MA, hukuman dipangkas menjadi 10 tahun.
---
Pembebasan & Dinamika Keadilan
Walaupun dihukum 10 tahun, secara faktual Tommy dibebaskan bersyarat lebih awal, pada Oktober 2006.
Keluarga almarhum Syafiuddin menyatakan kekecewaan: “Ia bebas, tapi suami saya tidak akan kembali,” ujar istri sang hakim.
Kasus ini memperlihatkan dua wajah keadilan: satu, bahwa hukum mampu menghukum figur besar; dua, bahwa prosesnya masih penuh ketidakpastian, dingin, dan dalam banyak aspek dikelilingi pertanyaan soal keadilan substantif—terutama bagi korban dan penegak hukum.
---
Makna Lebih Luas dalam Transisi Hukum Indonesia
Kasus Tommy Soeharto dan Syafiuddin Kartasasmita menjadi simbol era transisi:
Simbol perubahan: Sebagai satu dari sedikit kasus di mana mantan “lingkar kekuasaan” harus menghadapi hukum.
Simbol kerentanan penegakan hukum: Bagaimana meski vonis ada, pelarian dan pembunuhan hakim menunjukkan bahwa sistem masih lemah dalam melindungi penegak dan mengeksekusi putusan secara tepat.
Simbol ketidakcukupan keadilan: Hukuman yang akhirnya ringan dibanding penambahan risiko dan korban menimbulkan pertanyaan: apakah keadilan benar-benar ditegakkan?
---
Penutup
Apa yang terjadi pada tahun 2000 hingga pertengahan dekade berikutnya bukan sekadar kisah kriminal biasa. Ia adalah kisah bagaimana sebuah negara yang baru saja membalik halaman berusaha menerapkan hukum terhadap figur yang pernah berada di puncak kekuasaan. Bagaimana proses itu berjalan—dengan tantangan, tekanan, dan tragedi—menjadi pelajaran bahwa supremasi hukum bukanlah sekadar vonis, melainkan konsistensi, keberanian, dan perlindungan bagi semua, termasuk para penegak hukum.
Karena ketika peluru menembus kaca mobil seorang hakim di Jalan Veteran, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa menegakkan hukum dalam konteks kekuasaan besar bisa berisiko — dan membutuhkan kekuatan moral yang tak kalah besar.
---





